PERSPEKTIF THE ICEBERG THEORY,
LEVELS OF CULTURE, DAN TIGA TINGKAT
NILAI PENGEMBANGAN UTSUL TSALASA
Oleh :
Prof. Dr. H. Achmad Djuaeni Kadmasasmita, SE,MEc.
BANDUNG, 2010
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
I. The Iceberg Theory
II. Levels of Culture
III. Tiga Tingkat Nilai
IV. Keterkaitan I, II, dan III
V. Perspektif I, II, dan III Pengembangan Utsul Tsalasa
VI. Marifatullah
VII. Marifaturasul
VIII. Marifatudinul Islam
Daftar Pustaka
KATA PENGANTAR
The Iceberg Theory, Levels of Culture, dan Tiga Tingkat Nilai adalah gagasan besar untuk dapat memahami dan menjinakkan kompleksitas dunia nyata saat ini.
Gagasan besar tersebut, berupa tingkatan berpikir antara lain untuk menemukan fundamental problem atau the root of the problem, dan sekaligus menemukan fundamental solution atau leverage.
Buku ini berawal dari kegiatan penulis dalam kajian gagasan tersebut pada Pendidikan dan Pelatihan Kepemimpinan Tingkat II (Diklat. Pim, Tingkat II), perkuliahan pada Program Pasca Sarjana yang penulis lakukan sejak 1998, dan pengkajian Al Qur’an dan Al Hadist bersama Pak Cukup dan Pak Septi pada Fakultas MIPA-UNPAD, sejak Juni 2010.
Buku ini memuat secara ringkas, beberapa hal pokok mengenai Utsul Tsalasa dari perspektif The Iceberg Theory, Levels of Culture, dan Tiga Tingkat Nilai tersebut di atas.
Penulis menyadari, uraian dalam buku ini jauh dari lengkap, dan jauh dari sempurna. Namun diharapkan buku ini, dapat digunakan oleh siapa saja yang berminat mempelajari dan memahami Utsul Tsalasa.
Bandung, Medio, Juli 2010
ACH. DJUAENI K.
I. THE ICEBERG THEORY
|
Dari tingkat pemikiran yang paling dalam itu, akan ditemui bagaimana struktur sistemik masalah, pola dan kecenderungannya, yang menyebabkan mengapa hal itu dapat terjadi.
Bertingkatnya pemahaman masalah juga akan menghasilkan perspektif pengertian yang bertingkat (level of understanding) pula dan akhirnya akan memunculkan pola pikir dan jenis tindakan (action mode) untuk mengantisipasinya. Pemikiran yang hirarkis itu akan menggambarkan pula tingkat ungkitan (leverage) dan masa berlakunya (fungsinya terhadap waktu). Tingkatan perspektif yang berbeda itu merupakan kunci pemahaman karena kita hidup dalam suatu kenyataan events oriented dan bahasa kita berakar pada tingkatan peristiwa.
Menanggapi suatu kejadian jauh lebih mudah ketimbang pola dan kecenderungan, struktur sistemik, serta mental models, meskipun kita tahu bahwa peristiwa itu sesungguhnya ditimbulkan oleh mental models.
II. LEVELS OF CULTURE
Schein (1992) juga mengidentifikasi tiga tingkat budaya : (1) Artifacs, yaitu struktur dan proses organisasional yang dapat diamati tetapi sulit ditafsirkan; (2) Expoused Values, yaitu tujuan, strategik, filsafat; dan (3) Basic Underlaying Assumptions, yaitu kepercayaan, persepsi, perasaan, dan sebagainya, yang menjadi sumber nilai dan tindakan, sebagaimana terlihat dalam Gambar 2 berikut :
III. TIGA TINGKAT NILAI
Moerdiono (1995) mengidentifikasi tiga tingkat nilai : (1) Nilai Dasar, (2) Nilai Instrumental; dan (3) Nilai Praksis. Pada dasarnya; tolok ukur untuk membedakan antara nilai yang satu dengan nilai yang lainnya adalah tingkat abstraksi dari nilai-nilai itu sendiri, sebagaimana terlihat dalam Gambar 3 berikut :
1. Nilai Dasar.
Nilai dasar merupakan prinsip, yang bersifat amat abstrak, amat umum, tidak terikat dengan waktu, tempat ataupun abadi, dengan kandungan kebenaran yang bagaikan suatu aksioma. Dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar berkenaan dengan eksistensi sesuatu, yang mencakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar dan ciri khasnya.
Pada dasarnya, nilai dasar ini tidak akan berubah sepanjang zaman. Hal itu bisa tercapai justru oleh karena sifatnya yang bersifat amat abstrak itu, yang terlepas dari pengaruh perubahan waktu atau tempat.
2. Nilai Instrumental.
Nilai instrumental merupakan penjabaran dari nilai dasar tadi, yang merupakan arahan kinerjanya untuk kurun waktu tertentu dan untuk kondisi tertentu. Sifatnya sudah lebih bersifat kontekstual, dapat bahkan harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Dari segi kandungan nilainya, maka nilai instrumental merupakan kebijakan, strategi, organisasi, sistem, rencana, program, bahkan juga proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai dasar tersebut.
Nilai instrumental terpengaruh oleh perubahan waktu, keadaan, atau tempat, sehingga secara berkala memerlukan penyesuaian. Dengan lain perkataan, nilai instrumental merupakan kontekstualisasi dari nilai dasar, untuk menjamin agar nilai dasar tersebut tetap relevan dengan masalah-masalah utama yang dihadapi masyarakat dalam zaman tersebut.
3. Nilai Praksis.
Nilai praksis merupakan interaksi antara nilai instrumental dengan situasi konkrit pada tempat tertentu dan situasi tertentu. Sifatnya amat dinamis. Perbandingan kekuatan antara nilai instrumental yang hendak ditegakkan dengan situasi dan kondisi khusus itu bisa menguntungkan nilai instrumental, bisa juga tidak. Yang diinginkan adalah tegaknya nilai instrumental itu dalam kenyataan. Dari segi kandungan nilainya, nilai praksis merupakan gelanggang pertarungan antara idealisme dengan realitas yang tidak sepenuhnya dapat kita kuasai.
Pembedaan konseptual dalam tiga tataran ini berguna dalam melayani dinamika masyarakat. Pembedaan ini juga amat bermanfaat untuk menjernihkan wawasan kita melaksanakan tugas jangka sedang untuk menghadapi berlakunya sistem perdagangan bebas dunia. Jika tidak diadakan pembedaan ini, maka bisa-bisa liberalisasi perdagangan yang merupakan nilai instrumental, dipandang sama saja dengan liberalisme sebagai nilai dasar, yang secara ideologis jelas adalah keliru. Pembedaan nilai dasar, nilai instrumental, serta nilai praksis perlu untuk dapat melaksanakan Nilai Dasar Pancasila sebagai ideologi terbuka secara konsisten, kontekstual dan aktual.
IV. KETERKAITAN I, II, DAN III.
IV. KETERKAITAN I, II, DAN III.
Keterkaitan I, II, dan III.
Untuk memudahkan, four levels of thinking dari The Iceberg Theory, kita buat 3 (tiga) tingkatan saja, dengan cara menggabungkan Events dan Patterns and Trends menjadi 1 (satu) tingkat.
Berdasarkan penggabungan di atas, maka tingkat pemikiran pertama atau paling atas dari The Iceberg Theory, yaitu Events dan Patterns and Trends, sesuai dengan Artifacts dari Levels of Culture, dan sesuai dengan Nilai Praksis dari Tiga Tingkat Nilai.
Tingkat pemikiran ke dua, yaitu Systemic Structures dari The Iceberg Theory, sesuai dengan Espoused Values Strategies, dari Levels of Culture, dan sesuai dengan Nilai Instrumental dari Tiga Tingkat Nilai.
Tingkat pemikiran ke tiga, yang merupakan tingkat pemikiran yang paling dalam, yaitu Mental Models dari The Iceberg Theory, sesuai dengan Basic Underlyng Assumptions dari Levels of Culture, dan sesuai dengan Nilai Dasar dari Tiga Tingkat Nilai.
V. PERSPEKTIF I, II, DAN III PENGEMBANGAN
UTSUL TSALASA
Utsul Tsalasa, terdiri dari :
1) Marifatullah atau Mengenal Allah SWT sebagai Tingkat Pemikiran yang Paling Dalam (Mental Models, Basic Underlyng Assumptions, dan Nilai Dasar).
2) Marifaturasul atau Mengenal Rasul Sebagai Tingkat Pemikiran ke dua (Systemic Structures, Espoused Values, dan Nilai Instrumental).
3) Marifatudinul Islam sebagaiTingkat Pemikiran Ke Tiga (Events dan Patterns and Trends, Artifacts dan Nilai Praksis).
Dari tingkat pemikiran yang paling dalam Marifatullah, akan ditemui bagaimana marifaturasulnya, yang menyebabkan marifatudinul Islam itu dapat terjadi sebagaimana terlihat dalam Gambar 4 di bawah ini.
Keterangan :
The Iceberg Theory, Levels of Culture, dan Tiga Tingkat Nilai, dapat dijelaskan :
- Dari Marifatullah, akan ditemui bagaimana marifaturasul, yang menyebabkan marifatudinul Islam dapat terjadi, yaitu perbuatan soleh.
- Marifatullah menggambarkan pula leverage atau fundamental solutions bagi perbuatan soleh.
Jika kita renungkan baik-baik dalam menyelenggarakan marifatudinul Islam di masa datang sambil menyesuaikan diri dengan marifaturasul, kita harus tetap konsisten secara marifatullah. Oleh karena itu kita harus menjaga konsistensi kontekstualisasi dan aktualisasi utsul Tsalasa.
Secara konseptual, sudah barang tentu marifatullah mengandung nilai dasar, sedangkan marifaturasul tersebut mengandung nilai instrumental.
Pertimbangan utama dan pembedaan antara marifatullah, marifaturasul dan marifatudinul Islam yaitu untuk memberi tempat kepada dinamika kehidupan masyarakat.
Dengan kata lain, pembedaan tersebut bukan saja bermanfaat untuk menindaklanjuti marifatullah, tetapi juga perlu untuk marifaturasul terutama kejernihan wawasan serta untuk memelihara konsistensi pelaksanaan marifatudinul Islam.
Suatu kaidah pokok yang perlu ditegakkan dalam hubungan antara marifatullah dan marifaturasul ini adalah adanya hubungan hirarkis antara keduanya. Marifatullah berada pada strata yang lebih tinggi dari marifaturasul dan marifatudinul Islam sebagai nilai praksis.
Jika ditinjau dari segi pelaksanaan Utsul Tsalasa sesungguhnya pada marifatudinul Islam itulah ditentukan tegak atau tidaknya marifatullah dan marifatulrasul. Ringkasnya bukan pada marifatullah dan juga bukan pada marifatulrasul itu sendiri terletak batu terakhir dari Utsul Tsalasa, tetapi pada kualitas pelaksanaannya di lapangan yaitu marifatudinul Islam. Dirumuskan secara sederhana, hal ini dapat dikatakan bahwa bagi Utsul Tsalasa yang paling penting adalah bukti pengamalannya, yaitu perbuatan soleh.
Tantangan terbesar bagi Unsul Tsalasa adalah menjaga konsistennya antara marifatullah, marifaturasul, dan marifatudinul Islam-nya. Tugas ini adalah tugas amat berat, bahkan para Nabi dan Rasul juga tidak mengerjakan seluruhnya itu sendirian. Para beliau mempunyai para sahabat, khalifah, ulama, yang mengerjakan tindaklanjut dari ajaran-ajaran dasar yang disampaikan oleh Nabi dan Rasul itu.
VI. MARIFATULLAH
Marifatullah adalah Usaha manusia untuk mengenal Allah SWT, melalui tanda-tanda-Nya, dengan menggunakan Hati/Fitrah/ Keimanan, Pikiran/Akal, dan Panca Indera, sehingga meyakini kepada keberadaan-Nya, yang terlihat dari kesesuaian (indikator) antara apa yang diperbuat manusia dengan kehendak-Nya, sebagaimana terlihat dalam Gambar 5 berikut :
Sementara itu, seandainya perbuatan belum soleh, dan diambil solusi kekerasan, maka itu disebut solusi reactive, yang tidak memecahkan akar permasalahan. Akar permasalahan yang sebenarnya adalah Hati/Fitrah/Keimanan yang masih lemah. Oleh karena itu, sebagai solusi mendasarnya atau leverage-nya seyogyanya dengan meneguhkan Hati/Fitrah/Keimanan melalui penghayatan yang lebih tinggi dan bimbingan/keteladanan yang lebih intensif.
Marifatullah, selain melalui tanda-tanda-Nya, dengan mengguna-kan Hati/Fitrah/Keimanan, Pikiran/Akal, dan Panca Indra, juga melalui Tauhiddullah/ Ke-Esaan Allah SWT, sebagaimana terlihat dalam Gambar 6 di bawah ini.
Keterangan : Ringkasnya bukan pada rumusan rububiahtullah, dan juga bukan pula mulkiatullah terletak batu ujian terakhir dari nilai yang dianut, tetapi pada kualitas pelaksanaan-nya di lapangan (uluhiahtullah), yaitu perbuatan soleh. Dirumuskan secara sederhana, hal ini dapat dikatakan bahwa bagi Tauhiddullah, yang paling penting adalah bukti pengamalannya (Uluhiatullah).
Pembedaan dalam tiga tataran ini berguna untuk melayani dinamika masyarakat, juga bermanfaat untuk menjernihkan wawasan kita melaksanakan uluhiahtullah. Pembedaan rububiahtullah, mulkiatullah, dan uluhiahtullah, perlu untuk dapat melaksanakan Tauhiddullah / Ke-Esaan Allah SWT terbuka secara konsisten, kontekstual dan aktual.
VII. MARIFATURASUL
VII. MARIFATURASUL
Marifaturasul atau mengenal Rasul, seyogyanya di awali dari tingkat pemikiran yang paling dalam, yaitu syahadat, akan ditemui bagaimana struktur sistemiknya yaitu iman, pola dan kecenderungannya, yaitu istiqomah, yang menyebabkan mengapa kebahagiaan itu dapat terjadi, sebagaimana terlihat dalam
Gambar 7 berikut:
Keterangan:
Bertingkatnya pemahaman marifaturasul, akan menghasilkan perspektif pengertian yang bertingkat (level of outstanding) pula dan akhirnya akan memunculkan pola pikir dan jenis tindakan (action mode) untuk mengantisipasinya.
Kebahagiaan di dunia dan di akhirat adalah wujud penerapan Syahadat oleh kita. Ringkasnya kebahagiaan itu dalam kenyataan sehari-hari, yaitu : cara bagaimana kita melaksanakan Syahadat.
Jika kita perhatikan baik-baik, sebagian dari kita ada yang merasa kurang bahagia, sebenarnya oleh karena mereka kurang istiqomah, kurang beriman, dan kurang menghayati makna dan urgensinya Syahadat.
Oleh karena itu, seandainya merasa kurang bahagia, dan diambil solusi putus asa atau perbuatan munkar, maka itu disebut solusi reactive, yang tidak memecahkan akar permasalahan. Akar permasalahan yang sebenarnya adalah penghayatan Syahadat yang masih lemah. Oleh karena itu, sebagai solusi mendasarnya atau leverage-nya seyogyanya dengan meneguhkan Syahadat melalui penghayatan yang lebih tinggi dan bimbingan/keteladanan yang lebih intensif.
JAMU77 - Casino, Hotel & RV Park Express
BalasHapusJAMU77 - Casino, Hotel & RV Park Express offers 여수 출장샵 an EXCLUSIVE $100 춘천 출장샵 Gambling 문경 출장마사지 Bonus for new 영천 출장안마 players who sign up 문경 출장샵 today!